Senin, 24 Desember 2018

Musik

Saudaraku, siapa di antara kita yang tidak mengenal musik? Dan di antara orang yang mengenal musik, siapa dari mereka yang menyukainya? Mungkin ada di antara kita yang mengangkat tangan dan ada yang tidak. Sebagian kita ada yang menyukai musik dan ada yang tidak. Karena hal ini disebabkan oleh adanya pro dan kontra akan hukum musik itu sendiri dan juga karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan bahaya musik itu sendiri.

Pada kesempatan kali ini, mari kita simak bersama, apa sih sebenarnya hukum musik itu sendiri? Terkhusus lagi, jika musik itu dinisbatkan kepada Islam. Sebelum kita membahas bersama, ada kesepakatan yang harus kita patuhi. Karena kita adalah orang Islam, tentunya kita mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi dan panutan kita. Maka konsekuensi dari itu, kita harus meyakini kebenaran yang datang dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bukankah begitu, wahai saudaraku? Oke, mari kita simak dan renungkan bersama pembahasan kali ini.

Bagaimana Allah menerangkan hal ini dalam Al-Qur’an?

Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan akan hal ini. Satu di antaranya adalah:

Firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwasanya setelah Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbahagia dalam ayat 1-5, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari firman Allah (Al-Qur’an) dan mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an, lalu Allah Jalla Jalaaluh menceritakan dalam ayat 6 ini tentang orang-orang yang sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik. 1

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah satu sahabat senior Nabi berkata ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.2

Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah memberikan kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian.3

Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi dalil bahwa nyanyian itu hukumnya haram. 4

Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.

Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan kepada umatnya tentang musik?

Saudaraku, termasuk mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di masa mendatang. Dahulu, beliau pernah bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”5

Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada zaman kita saat ini?

Dan juga dalam hadis lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang musik. Beliau pernah bersabda,

إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.”6

Kedua hadis di atas telah menjadi bukti untuk kita bahwasanya Allah dan Rasul-Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.

Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan ulama yang menunjukkan akan larangan dan celaan Islam terhadap nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau kitab-kitab ulama lainnya yang membahas tentang hal ini.

Lalu, bagaimana dengan musik Islami?

Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya di antara kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang mengandung ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu mengandung kebaikan?

Program Qurban 1439 / 2018
Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut siapa? Jika Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi salah satu cara terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali melakukan hal tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka melarang dan mencela hal itu.

Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak kita dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?

Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat syariat baru, yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 7

Waktu-waktu yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik

Saudaraku, ternyata Islam tidak melarang kita secara mutlak untuk bernyanyi dan bermain alat musik. Ada waktu-waktu tertentu yang kita diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Kapan itu?

1. Ketika Hari raya

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan kecil dari wanita Anshar, sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan oleh kaum Anshar pada masa perang Bu’ats.” Lalu aku berkata, “Keduanya bukanlah penyanyi.” Lalu Abu Bakar berkata, “Apakah seruling setan ada di dalam rumah Rasulullah?” Hal itu terjadi ketika Hari Raya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita.” 8

2. Ketika pernikahan

Hal ini berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menceritakan tentang anak kecil yang menabuh rebana dan bernyanyi dalam acara pernikahannya Rubayyi’ bintu Mu’awwidz yang pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari adanya hal tersebut.

Dan juga berdasarkan dari sebuah hadis, bahwasanya beliau pernah bersabda, “Pembeda antara yang halal dan yang haram adalah menabuh rebana dan suara dalam pernikahan.”9

Jadi, telah jelas bukan, bahwa keadaan yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik hanyalah ketika hari raya dan pernikahan. Dan alat musik yang diperbolehkan hanyalah duff (rebana) yang hanya dimainkan oleh wanita.

Beberapa karakter khas yang ada dalam nyanyian dan musik

Dapat melalaikan hati
Menghalangi hati untuk memahami Al-Qur’an dan merenungkannnya serta mengamalkan kandungannya
Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan bertemu secara bersamaan dalam hati selamanya. Karena Al Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian hati. Sedangkan nyanyian memerintahkan sebaliknya, bahkan menghiasinya dan merangsang jiwa manusia untuk mengikuti hawa nafsu.
Nyanyian dan minuman keras ibarat saudara kembar dalam merangsang jiwa untuk melakukan keburukan. Saling mendukung dan menopang satu sama lain.
Nyanyian itu pencabut kewibawaan seseorang
Nyanyian dapat menyerap masuk ke dalam pusat khayalan, lalu membangkitkan nafsu dan syahwat yang terpendam di dalamnya.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.10

Karakter-karakter khas yang terdapat pada musik tersebut mencakup semua jenis musik, baik itu musik rock, pop, dangdut, maupun musik Islami. Karena hal ini memang telah terbukti di kalangan para pecinta musik. Dan memang, nyanyian dan musik ini sangat besar pengaruhnya bagi para pelaku dan pendengarnya dari segala sisi, baik dari akidahnya, akhlaknya, maupun dari akal pikirannya yang telah menunjukkan adanya kemerosotan yang sangat signifikan jika dibanding dengan generasi kakek nenek kita, yang mana dulu masih jarang ditemukan adanya nyanyian ataupun musik.

Renungan

Wahai Saudara, kami rasa ketiga dalil dari Al-Qur’an dan hadis di atas dan penjelasan setelahnya, sudah cukup membuktikan kepada kita bahwa Islam melarang adanya nyanyian dan alat-alat musik. Dan juga, sudah cukup melegakan hati saudaraku yang memang sebelumnya kontra dengan musik. Dan menjadikan terang dan jelas bagi saudaraku yang sebelumnya pro dengan musik. Dan telah terjawab sudah, pertanyaan pada judul pembahasan kita saat ini. Bukankah demikian?

Namun memang sudah seharusnya bagi kita seorang muslim, untuk menerima dengan tunduk apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada rasa berat dan penolakan sedikit pun dari dalam hati kita. Karena jika hal itu terjadi, maka itu adalah salah satu tanda adanya kesombongan yang ada dalam hati kita. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” Lalu ada seorang laki-laki bertanya pada beliau, “Sesungguhnya manusia itu menyukai baju yang indah dan sandal yang bagus.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” 11

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa melakukan segala apa yang Dia perintahkan dan menjauhi segala apa yang Dia larang. Sesungguhnya Allah Ta’ala-lah yang Maha Pemberi taufik dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanyalah milik Allah semata. Wallahu waliyyut taufiq.

Catatan kaki :

Lihat Tafsir Ibnu Katsir, hal. 556/3
Idem
Idem
Lihat Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayyim, hal. 239
HR. Bukhari, no. 5590
HR. Hakim 4/40, Baihaqi 4/69
Lihat penjelasan lebih lengkapnya di at Tahrim atau Ighatsatul Lahafan
HR. Bukhari, no. 949, dan lain-lain
HR. At Tirmidzi, no. 1080, dihasankan oleh Syekh Al-Albani
Lihat At-Tahrim, hal. 151
HR. Muslim, no. 275
Referensi :

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim. 2008. Mesir, Daarul Aqidah.
Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Ighatsatul Lahfaan. Maktabah syamilah
Nashiruddin Al Albani, Tahriim Aalaatit Tharbi. Maktabah syamilah

Penulis: Winning Son Ashari

Pemurajaah: Ust. Sanusin Muhammad, M.A

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/20706-benarkah-musik-islami-itu-haram.html

Jumat, 26 Oktober 2018

LINK USTADZ SALAF

Berikut beberapa list website yang direkomendasikan untuk kita ambil faedah-faedahnya :

🍒 WEBSITE / BLOG PARA USTADZ

👤 Ustadz Fauzan, ST, MA (http://madinatulquran.or.id)
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA (http://firanda.com/)
👤 Ustadz Abdullah Roy, MA (http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/)
👤 Ustadz Kholid Syamhudi, Lc (http://klikuk.com/)
👤 Ustadz Badrusalam, LC (http://cintasunnah.com/)
👤 Ustadz Syafiq Riza Basalamah, MA (https://mahabbatussunnah.wordpress.com/)
👤 Ustadz Abu Haidar As-Sundawiy (http://www.mozaikislam.com/)
👤 Ustadz Abu Fairuz Ahmad Ridwan, Lc (http://www.abufairuz.com/)
👤 Ustadz Abu Sa'ad Nurhuda -rahimahulloh (https://tirailangit.wordpress.com/)
👤 Ustadz Abduh Tuasikal, MSc, MA (http://rumaysho.com/)
👤 Ustadz Erwandi Tarmizi, MA (http://erwanditarmizi.com/)
👤 Ustadz Musyaffa Ad-Dariniy, MA (http://addariny.wordpress.com/)
👤 Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA (http://dzikra.com)
👤 Ustadz Abdullah Taslim, MA (http://manisnyaiman.com)
👤 Ustadz Abdullah Zaen, MA (http://tunasilmu.com)
👤 Ustadz Aris Munandar, MA (http://ustadzaris.com/)
👤 Ustadz Muhammad Wasitho, MA (http://www.abufawaz.wordpress.com/)
👤 Ustadz Dr Sufyan Basweddan Abu Hudzaifah, Lc MA (http://basweidan.wordpress.com/)
👤 Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc (http://www.dakwahsunnah.com/)
👤 Ustadz Ahmad Faiz Asifuddin, Lc (http://ustadzfaiz.com)
👤 Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc (http://addariny.wordpress.com/)
👤 Ustadz Sa’id Yai Ardiyansyah, Lc (http://kajiansaid.wordpress.com/)
👤 Ustadz Fariq Gasim (http://fariqgasimanuz.wordpress.com)
👤 Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi (http://abiubaidah.com/)
👤 Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa (http://sabilulilmi.wordpress.com)

●●•٠·٠•●●••●●•٠·٠•●●

♻ WEBSITE ILMU ISLAM

http://bimbinganislam.com/
https://yufid.com
http://muslim.or.id/
http://buletin.muslim.or.id/
https://abufawaz.wordpress.com
http://pengusahamuslim.com/
http://konsultasisyariah.com/
http://almanhaj.or.id/
http://muslimafiyah.com/
http://www.alsofwah.or.id/
http://ahlulhadiits.wordpress.com/

http://salafiyunpad.wordpress.com/
http:dakwahsunnah.com/
http://www.situssunnah.com/

http://salafyitb.wordpress.com/
http://ulamasunnah.wordpress.com/
http://badaronline.com/
http://moslemsunnah.wordpress.com/
http://islamdiaries.tumblr.com/
http://www.al-mubarok.com/
http://m.salamdakwah.com/

http://kisahmuslim.com/
http://yufid.tv/
http://kajian.net/
http://radioassunnah.com/
http://rodja.tv/
http://radiomuslim.com/
http://shahihfiqih.com/artikel/
http://TwitUlama.com/
http://salamdakwah.com/
http://bbg-alilmu.com/
http://alwasathiyah.com/
●●•٠·٠•●●••●●•٠·٠•●●

♻ INFO KAJIAN

http://infokajian.com/
https://tempatkajian.wordpress.com/

●●•٠·٠•●●••●●•٠·٠•●●

♻ WEBSITE KHUSUS MUSLIMAH

http://muslimah.or.id/
http://ummiummi.com/
http://wanitasalihah.com/
http://jilbab.or.id/

●●•٠·٠•●●••●●•٠·٠•●●

♻ MAJALAH

• Majalah As Sunnah (http://majalah-assunnah.com/)
• Majalah Al Furqon (http://majalahalfurqon.com/)
• Majalah EL-FATA (http://majalah-elfata.com/)
• Majalah Al Mawaddah (https://almawaddah.wordpress.com/)
• Majalah Sakinah (http://majalahsakinah.com/)
• Majalah Kesehatan Muslim (http://kesehatanmuslim.com/)

Minggu, 21 Oktober 2018

Ilmu tajwid

Hukum Bacaan Nun Mati dan Tanwin Ketika Bertemu Huruf Hijaiyah

Dalam memmbaca Al-Qur'an kita tidak boleh membacanya dengan sembarangan, salah baca dikit saja, maka artinya pun juga berbeda. maka dari itu kita perlu ilmu yang namanya ilmu tajwid, salah satu ilmu tajwid adalah tentang hukum bacaan nun sukun atau nun mati serta tanwin bertemu dengan ke 28 huruf hijaiyah , yaitu sebagai berikut :

1. Pengertian dan Contoh Idzhar Halqi
Idzhar adalah Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf halqi yakni : hamzah, kha, kho’, ‘ain, ghain , ha ( ء ه ح خ ع غ ) maka hukum bacaannya adalah idzhar halqi yang berarti harus dibaca terang dan jelas seperti contoh idzhar dibawah ini :
من أمََنَ , مِنْهُ , غَفُوْرٌ حَلِيمٌ

Pengertian hukum bacaan Idzhar Halqi dan Contohnya

2. Pengertian dan Contoh Idghom bighunnah
Idgham bighunnah adalah Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf ya’, nun, mimi, dan wawu (ي ن م و) maka hukum bacaannya disebut idghom bighunnah) (إدغام بِغُنَّة yang berarti harus dibaca dengan dimasukkan atau ditasydidkan kedalam salah satu huruf yang empat itu dengan suara mendengung. Seperti contoh dibawah ini :
مَنْ يَقُوْلُ , مِنْ نُوْرٍ , مَنْ مَنَعَ

Pengertian dan Contoh Idghom bighunnah

3. Pengertian dan Contoh Bacaan Idghom Bilaghunnah
Idgham Billaghunnah adalah Apabila ada nun sukun dan tanwin bertemu dengan salah satu huruf lamل) ) dan ra' (ر) maka hukum bacaannya adalah idghom bila ghunnah (إدغام بلاغنًة) yang membacanya dengan cara memasukkan dengan tanpa mendengung. Seperti contoh dibawah ini :
مِنْ رَبِهِمْ , مَنْ لَمْ

Pengertian dan Contoh Bacaan Idghom Bilaghunnah

4. Pengertian Bacaan Iqlab dan Contohnya
Iqlab Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf ba’ (ب) maka hukum bacaannya adalah iqlab (إِقلاب) yang membacanya dengan cara huruf nun atau tanwin itu dibalik atau ditukar menjadi suara mim (م). Seperti contoh iqlab berikut :
سميعٌ بَصِيْرٌ , كِرَامٍ بَرَرَةٍ

Pengertian Bacaan Iqlab dan Contohnya

5. Pengertian Ikhfa’ Haqiqi Beserta Contoh
Ikhfa' Apabila ada nunu sukun atau tanwin bertemu dengan huruf yang 15 di bawah ini maka hukum bacaannya adalah Ikhfa’ haqiqi yang cara membacanya adalah samar-samar antara idghom dan idzhar. Huruf Ikhfa’ yang 15 antara lain :
ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك
Contoh Ikhfa’ :
مِنْ جُوْعٍ , مِنْكُم , أَ نْفُسَكُمْ

Pengertian Ikhfa’ Haqiqi Beserta Contoh

Nah itulah 5 Hukum Bacaan Nun mati / sukun dan tanwin jika bertemu huruf hijaiyah yang terdiri dari idhar , idgham bigunnah , idgham billagunnah , iqlab dan yang terkahir iqlab yang dapat saya bagikan kepada sobat yang sekiranya ingin memperdalam ilmu tajwid lebih dalam lagi khususnya bab nun mati dan tanwin ini. oh iya jika ada yang keliru saya mohon untuk siapa saja yang tahu , untuk membenarkanya , tapi saya rasa insya Allah ini sudah benar karena berdasakan kitab syifaul janan.

Sumber http://www.masyadi.com/2015/03/hukum.bacaan.nun.mati.sukun.dan.tanwin.bertemu.hijaiyah.html?m=1

Sabtu, 01 September 2018

Bantuan dari orang kafir

Jika ada non-muslim yang ingin menyumbangkan harta untuk membangun masjid misalnya atau untuk membangun pondok pesantren, apakah diterima atau ditolak?

Pertama perlu dijelaskan bahwa hukum asal menerima hadiah dan infak dari non-muslim adalah mubah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenerima hadiah dari Para raja-raja non-muslim dan juga menerima hadiah daging dari seorang wanita Yahudi. Ini dalam rangka muamalah yang baik dan mengambil hati mereka.

Imam Bukhari menuliskan bab mengenai hal ini

باب قبول الهدية من المشركين

“Bab bolehnya menerima Hadiah dari orang musyik”.

Bahkan ulama menjelaskan boleh menerima sumbangan membangun masjid dari non-muslim asalkan tanpa syarat dan tidak membuat kaum muslimin menjadi hina serta bukan alat politik non-muslim tersebut untuk membuat makar terhadap umat Islam.

Ibnu Muflih menjelaskan bahwa Masjid boleh dibangun dari harta orang kafir, beliau berkata

وَتَجُوزُ عِمَارَةُ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكِسْوَتُهُ وَإِشْعَالُهُ بِمَالِ كُلِّ كَافِرٍ

“Boleh membangun masjid, memberikan kiswah dan penerangan dari harta orang kafir”1.

Lajnah Daimah (semacam MUI di Saudi) mengeluarkan fatwa ketika ditanya apakah boleh shalat di masjid yang dibangun dari harta orang kafir? Dalam fatwa dijelaskan:

لا بأس في الصلاة في المسجد المذكور

Tidak mengapa shalat di masjid tersebut (yang dibangun dari harta orang kafir)2.

Adapun maksud ayat bahwa Allah tidak akan menerima dari harta mereka karena kekafiran mereka, maka ini maksudnya adalah dari segi diterimanya ibadah mereka oleh Allah, bukan dari segi halal dan haramnya menerima sumbangan dari mereka. Ayat tersebut sebagai berikut:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” (At-Taubah:54).

Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa boleh menerima dengan syarat:

Pertama: Tidak menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin karena menerima hadiah tersebut, semisal sumbangan tersebut ada syaratnya yang merugikan kaum muslimin atau alat politik untuk membuat makar terhadap Islam

Dalam Fatwa Lajnah Daimahdijelaskan,

يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من الإنفاق على المشاريع الإسلامية؛ كالمساجد والمدارس إذا كان لا يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من المنفعة

“Boleh bagi kaum muslimin menerima infak dari non-muslim untuk kegiatan Islam semisal membangun masjid dan sekolah/pesantren, jika tidak ada bahaya yang ditimbulkan bagi kaum muslimin dan banyak manfaatnya”3.

Kedua: Dipastikan bahwa harta orang kafir tersebut adalah bukan harta yang haram. Jika jelas informasi yang masuk ke kita bahwa harta yang disumbangkan itu haram, maka tidak boleh menerimanya untuk membangun masjid. DalamFatawa Syabakah Islamiyahdisebutkan:

فلا مانع من أن تطلبوا من كافر إعانة مالية يهبكم إياها ثم تستعينون بها في بناء مسجد ، كما لا حرج في قبولها منه دون طلب لا سيما مع عجزكم عن بنائه وحاجتكم إليه، ولا يلزمكم البحث عن مصدر ماله الذي تبرع به هل هو من حلال أو من حرام ، ولكن إذا علمتم أن عين المال الذي أعطاكم إياه حراما فلا يجوز لكم قبوله وصرفه في بناء المسجد

“Tidak ada masalah meminta sumbangan dari orang kafir dalam bentuk harta, kemudian digunakan untuk membangun masjid. Sebagaimana juga dibolehkan menerima pemberian orang kafir tanpa melalui permintaan. Terlebih jika kalian (kaum muslimin) tidak mampu membangun masjid, sementara kalian sangat membutuhkannya. Tidak ada kewajiban untuk mencari tahu sumber harta mereka, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalur yang haram. Akan tetapi, jika kalian tahu persis bahwa uang yang diberikan orang kafir itu adalah uang haram, maka tidak boleh diterima dan tidak boleh digunakan untuk membangun masjid”4.

Minta bantuan dan sumbangan dari orang kafir

Yang di jelaskan di atas adalah mengenai menerima bantuan dan sumbangan untuk kepentingan umat dari orang kafir, tanpa didahului meminta. Yaitu ketika orang kafir menawarkan bantuan dan sumbangannya, dan kaum Muslimin tidak meminta. Adapun kaum Muslimin yang meminta terlebih dahulu, maka selain dua syarat yang disebutkan, para ulama juga mensyaratkan hendaknya kaum Muslimin tidak menunjukkandzull (perendahan diri) di depan orang kafir dan tidak boleh muncul kecenderungan hati sehingga mudah dipengaruhi oleh orang kafir. Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menyatakan,

فقبول هبات الكفار وتبرعاتهم دون طلب لا بأس به ويجوز صرف هذا المال في المشاريع الإسلامية ونفقاتها المختلفة . أما طلب التبرعات من الكفار ففيه بعض المحاذير مثل الذلّ أمامهم وملكهم قلب الطالب إذا أعطوه . فلو خلا من هذه المحاذير فلا بأس ، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعين ( دون ذلّ ) في أمور الدعوة – وهو بمكة – ببعض المشركين كعمه أبي طالب وغيره

“Menerima pemberian orang kuffar dan bantuan mereka, tanpa meminta terlebih dahulu, itu tidak mengapa. Dan boleh menggunakan harta pemberian tersebut untuk berbagai keperluan umat Islam. Adapun meminta bantuan dari orang kafir, di sana terdapat perkara-perkara yang perlu dijauhi diantaranya bersikap dzull(merendahkan diri) di depan mereka dantimbulnya kecenderungan hati dari peminta sehingga mudah pengaruhi oleh mereka, jika permintaannya diberikan. Jika tidak ada perkara-perkara yang terlarang ini, maka tidak mengapa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu pernah meminta bantuan (tanpa merendahkan diri) kepada sebagian kaum Musyrikin di Mekkah dalam urusan dakwah, semisal kepada paman beliau Abu Thalib dan yang selainnya”5.

Kesimpulan

Maka, jika kaum muslimin mampu membangun masjid atau sekolah/pesantren, sebaiknya tidak menerima sumbangan dari non-muslim karena memang tidak butuh dan mampu, terlebih di daerah mayoritas muslim yang tentu umumnya tidak kekurangan harta untuk membangun masjid. Apalagi memang ada indikasi kuat ada makar politik untuk membahayakan kaum muslimin. Kita harus berhati-hati karena orang kafir tidak akan pernah ridha dengan orang Islam

Allah berfirman,

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)” (An-Nisaa’:89)
Demikian semoga bermanfaat.

@Yogyakarta tercinta, dalam keheningan jaga malam

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

 

Al-Furu’ 11/478 Fatwa Lajnah Daimah5/255 nomor 20112 Fatwa Lajnah Daimah5/256 nomor 21334 Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 75831  Fatawa Islam Sual Wal Jawab no.212,https://islamqa.info/ar/212 

Makanan acara bid'ah

HUKUM MEMAKAN MAKANAN DARI ACARA BID’AH

Oleh

Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.

Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh. Ustadz, apa hukumnya memakan makanan dari acara yang tidak diridhai Allâh? Acara ulang tahun misalnya. Jazakallahkhair.

Jawaban.

Wa’alaikumussalâm warahmatullâhi wabarakâtuh. Semoga Allâh Azza wa Jalla menghindarkan anda dari perkara haram dan dosa.

Pada masa lalu, perayaan ulang tahun tidak dikenal di kalangan umat Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak pernah mencontohkannya. Jika perbuatan itu baik, mereka tentu sudah mendahului kita, karena mereka sangat bersemangat dalam melakukan semua kebaikan. Tradisi ini diimpor dari orang-orang barat yang kafir, sehingga jelas bahwa melakukan perayaan seperti ini merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang-orang kafir) yang dilarang dalam agama Islam.[1]

Jika demikian, maka kita tidak boleh mendukung acara seperti ini, baik dengan menghadirinya, mendanainya atau lain sebagainya, karena itu termasuk kerjasama dalam hal maksiat. Terkait dengan memakan makanan yang dibuat untuk acara itu, jika yang dimaksud dengan memakan makanan saat menghadiri acara ulang tahun atau sejenisnya, maka itu tak lepas dari unsur mendukung maksiat. Menghadiri acara dan ikut makan berarti ikut mendukung dan meramaikannya, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan takwa, jangan bahu membahu dalam dosa dan maksiat. Bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras siksa-Nya [Al-Mâ`idah/5:2]

Adapun jika makanan itu di antar ke rumah tanpa kita datang ke tempat acara, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menyelenggarakan pesta atau upacara bid’ah, juga orang-orang kafir saat berhari raya, maka kita boleh menerimanya dan memakannya. Demikian dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[2] Hal itu karena pada hakekatnya, makanan itu halal dan menerima hadiah dari mereka tidak berarti mendukung acara mereka.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menerima hadiah dari orang yang merayakan hari raya Nayruz.[3] Aisyah Radhiyallahu anhuma juga ditanya tentang hukum menerima hadiah dari orang Mâjusi saat mereka berhari raya, maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْمِ فَلَا تَأْكُلُوا، وَلَكِنْ كُلُوا مِنْ أَشْجَارِهِمْ

Adapun yang disembelih untuk acara itu, jangan kalian makan. Makanlah makanan selain sembelihan (sayur, buah dan semacamnya) [HR. Ibnu Abi Syaibah no. 24.371][4]

Setelah menukil atsar ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Semua atsar ini menunjukkan bahwa ‘ied (hari raya) tidak berpengaruh pada bolehnya menerima hadiah dari mereka. Jadi tidak ada bedanya antara menerima hadiah dari mereka, saat ‘ied maupun di luar ‘ied, karena hal itu tidak mengandung unsur mendukung syi’ar kekafiran mereka.”

Sebagian Ulama lagi berpendapat tidak boleh menerima hadiah atau makan hadiah ulang tahun sama sekali. Bagi mereka, hal tersebut tidak lepas dari unsur mendukung acara mereka.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote

[1]Lihat: Fatâwâ Lajnah Dâ`imah II 2/260, Majmû’ Fatâwâ Bin Bâz 4/285

[2]Iqtidhâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm 2/52

[3]Nayruz adalah peringatan awal tahun kalender Mesir, biasa diperingati oleh umat Kristen Koptik dan yang lain

[4]Mushannaf Ibni Abi Syaibah 5/126.

Read more https://almanhaj.or.id/4534-hukum-memakan-makanan-dari-acara-bidah.html

Selasa, 28 Agustus 2018

Shalat jenazah

Jika mayit lelaki, imam shalat pas dikepala mayit (kepala sebelah kanan)
Jika mayit perempuan , imam shalat ditengah 2 mayit

1. Takbir pertama baca alhamdulillah
2. Shalawat tasyahud akhir

3.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ،
وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

Catatan: Do’a di atas berlaku untuk mayit laki-laki. Jika mayit perempuan, maka kata –hu atau –hi diganti dengan –haa. Contoh “Allahummaghfirla-haa warham-haa …”. Do’a di atas dibaca setelah takbir ketiga dari shalat jenazah.

Do’a khusus untuk mayit anak kecil:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا

Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron

“Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)

Do’a setelah takbir keempat:

اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ

Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu

“Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”.

Untuk mayit perempuan, kata –hu diganti –haa
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah, ada 4 kewajiban terhadap jenazah yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. Empat hal ini dihukumi fardhu kifayah, artinya harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini terhadap mayit. Jika tidak, semuanya terkena dosa.

Empat hal yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah:

1- Memandikan

2- Mengafani

3- Menyolatkan

4- Menguburkan

Empat hal di atas hanya berlaku pada mayit muslim. Adapun mayit kafir, tidak dishalatkan baik kafir harbi maupun dzimmi. Boleh memandikan orang kafir, namun cuma dalam dua keadaan. Dan wajib mengafani kafir dzimmi dan menguburkannya, tetapi hal ini tidak berlaku bagi kafir harbi dan orang yang murtad. Adapun orang yang mati dalam keadaan ihram (sedang berumrah atau berhaji), jika dikafani, maka kepalanya tidak ditutup.

Berikut kami sebutkan point-point penting yang mesti dilakukan yang terdapat pada empat hal di atas. Sebagai rujukan utama kami adalah fikih ulama Syafi’i dari penjelasan Al Qodhi Abu Syuja’ dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib, ditambah beberapa dari penjelasan lainnya.

Memandikan Mayit

Ada dua mayit yang tidak dimandikan: (1) orang yang mati dalam medan perang (mati syahid), (2) janin yang belum mengeluarkan suara tangisan, ini menurut madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, yang tidak perlu dimandikan adalah janin yang keguguran di bawah 4 bulan.

Mayit disiram dengan bilangan ganjil, yaitu boleh tiga, lima kali siraman atau lebih dari itu. Namun jika mayit disiram dengan sekali siraman saja ke seluruh badannya, maka itu sudah dikatakan sah.

Pada siraman pertama diperintahkan diberi daun sider (bidara) dan saat ini boleh diganti dengan air sabun. Sedangkan pada siraman terakhir diberi kapur barus.

Mengafani Mayit

Mengafani mayit dilakukan dengan tiga helai kain berwarna putih, tidak ada pakaian dan tidak imamah (penutup kepala).

Menyolatkan Mayit

Shalat jenazah terdapat tujuh rukun:

1- Berniat (di dalam hati).

2- Berdiri bagi yang mampu.

3- Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud).

4- Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah.

5- Setelah takbir kedua, membaca shalawat (minimalnya adalah allahumma sholli ‘ala Muhammad).

6- Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk mayit. Inilah maksud inti dari shalat jenazah.

7- Salam setelah takbir keempat.

Tujuh rukun di atas disebutkan oleh Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Iqna’.

Di antara yang bisa dibaca pada do’a setelah takbir ketiga:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilkul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.

“Ya Allah! Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963)

Catatan: Do’a di atas berlaku untuk mayit laki-laki. Jika mayit perempuan, maka kata –hu atau –hi diganti dengan –haa. Contoh “Allahummaghfirla-haa warham-haa …”. Do’a di atas dibaca setelah takbir ketiga dari shalat jenazah.

Do’a khusus untuk mayit anak kecil:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا

Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron

“Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)

Do’a setelah takbir keempat:

اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ

Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu

“Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”.

Untuk mayit perempuan, kata –hu diganti –haa.

Menguburkan Mayit

Mayit dikuburkan di liang lahat dengan diarahkan ke arah kiblat.

liang-lahat
Bentuk Liang Lahat (Rumaysho.Com)
Mayit dimasukkan dalam kubur dengan mengakhirkan kepala dan dimasukkan dengan lemah lembut.

Bagi yang memasukkan ke liang lahat hendaklah mengucapkan: Bismillah wa ‘alaa millati rosulillah (Dengan nama Allah dan di atas ajaran Rasulullah).

Larangan Terhadap Kubur

Dilarang mendirikan bangunan di atas kubur dan tidak boleh kubur disemen. Ini pendapat dalam madzhab Syafi’i namun banyak diselisihi oleh kaum muslimin di negeri kita karena kubur yang ada saat ini dipasang kijing, marmer dan atap.

Padahal terdapat hadits, dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970). Sudah dibahas oleh Rumaysho.Com: Memasang Kijing, Marmer dan Atap di Atas Kubur.

Terhadap Keluarga Mayit

Boleh menangisi mayit asal tidak dengan niyahah (meratap atau meraung-raung dengan suara teriak atau keras), diharapkan keluarga sabar dan ridho.

Disunnahkan menta’ziyah keluarga mayit hingga hari ketiga setelah pemakaman.

Masing-masing dari point di atas, insya Allah akan disajikan dalam bahasan tersendiri di Rumaysho.Com.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/4905-ringkasan-pengurusan-jenazah.html

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

BIMBINGAN MENGURUS JENAZAH

Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro

Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekali lagi, sebagian keindahan Islam akan terbukti, dengan Anda menyimak sajian rubrik fiqih kali ini. (Redaksi)

A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT
1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً”.أخرجه البخاري

Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. [HR Al Bukhari].

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.

Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. [Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma’az Zawa’id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا

Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan. [HR Muslim].

4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’ (berhara).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:

لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya. [HR At Tirmidzi].

5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.

6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya [HR Al Bukhari].

Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang ahli waris daripada yang lain.

B. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT
1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله

Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah. [HR Muslim].

Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga. [HR Al Bukhari].

Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.

2. Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. [HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].

Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
b. Kedua pelipisnya melemas.
c. Hidung menjadi lunak.
d. Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
e. Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f. Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g. Tubuh menjadi dingin.
h. Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].

Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.

3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ

Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” [HR Al Bukhari].

C. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ

Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ

Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’ 5/333].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya. Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.

5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur’an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.

7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.

D. MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya. [Muttafaqun ‘alaih].

2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.

Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.

Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘€nha:

لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ

Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله

Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah n memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].

6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: “Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, hlm. 6].

7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.

8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].

9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:

وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ

Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.

E. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :

إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ

Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. [HR Muslim].

Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah.” [Ahkamul Janaiz, 58].

2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah n bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:

….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ

… Kafanilah dia dengan dua bajunya. [Muttafaqun ‘alaih]

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.

3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.

Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا

Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali. [HR Ahmad].

4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.

F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim].

2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ

Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni. [HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta’awwudz, tidak membaca do’a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do’a untuk mayit. Sebaik-baik do’a adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا

Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. [HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ

Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya. [HR Abu Dawud].

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka. [HR Muslim dari ‘Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ….)

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:

وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ

Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.

E. MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :

إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ

Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. [HR Muslim].

Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah.” [Ahkamul Janaiz, 58].

2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah n bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:

….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ

… Kafanilah dia dengan dua bajunya. [Muttafaqun ‘alaih]

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.

3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.

Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا

Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali. [HR Ahmad].

4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.

F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim].

2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ

Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni. [HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta’awwudz, tidak membaca do’a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do’a untuk mayit. Sebaik-baik do’a adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا

Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. [HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ

Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya. [HR Abu Dawud].

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka. [HR Muslim dari ‘Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ….)

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas’ud.

ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ

“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi). Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Rasulullah dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali. (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul ‘Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.

Ibnu Hajar berkata: “Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah.” [Diriwayatkan oleh Sa’id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir.

4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama’ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah Radhiyallahu anhuma menyalatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash.

5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.

6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuknya. [HR Muslim].

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ

Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa’at kepada mereka untuknya. [HR Muslim].

7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)].

8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama’ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.

9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].

10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya.

11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Abu Dawud].

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu , berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya. [HR Muslim].

Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.

12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.

13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau berkata:

وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ

Demi, Allah! Tidaklah Nabi n menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid. [HR Muslim].

Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti’ (5/444)].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Read more https://almanhaj.or.id/3070-bimbingan-mengurus-jenazah-1.html