Kamis, 31 Mei 2018

Ulil amri

Ulil amri (pemerintah atau penguasa) perlu dibahas dengan jelas, mengingat munculnya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari aqidah dan manhaj ahlus sunnah. Sebagian di antara mereka mengangkat seorang imam, padahal orang tersebut tidak bisa mewujudukan kepemimpinan dan kekuasaan, tidak pula memiliki power dan kekuatan sebagai seorang pemimpin.

Misalnya, orang-orang Syi’ah yang meyakini adanya imam (ulil amri), namun mereka tidak mengetahui siapakah dia, apa perintahnya, dan apa larangannya. Mereka juga tidak memiliki metode untuk mengetahuinya, bahkan tidak mengetahui di mana keberadaan sang imam yang mereka yakini tersebut.

Sebaliknya, sebagian orang mengingkari dan tidak mau mengakui bahwa pemimpinnya (yang sah berkuasa) adalah ulil amri yang wajib ditaati. Dan berdasarkan keyakinan tersebut, muncullah berbagai kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

Pengertian “Imam” atau “Ulil Amri” menurut manhaj ahlus sunnah dan metode penetapannya

Imam atau ulil amri menurut ahlus sunnah adalah siapa saja yang bisa mewujudkan maksud kepemimpinan dan kekuasaan. Maksudnya, dia memiliki power dan kekuasaan, sehingga dia memaksa orang lain untuk mentaatinya dan mentaati perintahnya, serta untuk melaksanakan keputusan-keputusannya. Juga terwujud dengannya maslahat banyak orang, dan juga tugas-tugas kepemimpinan yang lain.

Abul Hasan Ibnu Az-Zaaghunirahimahullahu Ta’alamengatakan,

“Maksud adanya imam (pemimpin) adalah terjaganya urusan politik secara syar’i; tegaknya kebenaran dengan keadilan; diaturnya urusan negara dan masyarakat sehingga dapat terwujud kebaikan (maslahat); terjaganya daerah perbatasan dan tentara sehingga dengannya agama menjadi mulia dan tersebarlah kebenaran; hancurnya  kebatilan, kekafiran, kebid’ahan dan kedzaliman; serta tercegahnya orang-orang yang berbuat dzalim dan membantu orang-orang yang didzalimi; dan (tujuan-tujuan kepemimpinan) lainnya sehingga menjadi teraturlah urusan masyarakat secara umum.” (Al-Idhaah fi Ushuulid Diin, hal. 601)

Imamah (kepemimpinan) bisa terwujud atau bisa diperoleh dengan tiga cara, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ahlus sunnah:

Pertama, persetujuan dari orang-orang yang ada dalam ahlul halli wal ‘aqdi, yaitu orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat, baik karena dia adalah para pemimpin, atau ditokohkan, atau karena mereka adalah orang-orang yang dipercaya di negeri itu. Sehingga ketika ahlul halli wal ‘aqdi telah menyetujui dan mengangkat seseorang sebagai pemimpin, baik orang tersebut termasuk dalam anggota ahlul halli wal ‘aqdi atau di luar anggota ahlul halli wal ‘aqdi,maka jadilah dia sebagai pemimpin dan penguasa yang sah.

Ini adalah metode pemilihan khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq,‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum.Mereka tidak dipilih oleh semua sahabat yang masih hidup ketika itu, akan tetapi hanya dipilih oleh sebagian sahabat saja yang bermusyawarah untuk menentukan siapakah yang paling layak untuk ditunjuk sebagai khalifah. Adapun para sahabat yang lainnya, mereka mengikuti keputusan ahlul halli wal ‘aqdi.

Ke dua, melalui pelimpahan kekuasaan dari pemimpin sebelumnya atau disebut denganwilayatul ‘ahdi. Inilah yang terjadi ketika khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhumembuat keputusan bahwa khalifah sepeninggal beliau adalah sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.Oleh karena itu, sepeninggal khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu, para sahabat pun membaiat khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhusebagai pemimpin yang baru, tanpa ada perselisihan di antara mereka.

Metode ini pun ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika terjadi Perang Mu’tah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk satu orang sebagai pemimpin, yaitu Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu. Jika Zaid bin Haritsahradhiyallahu ‘anhu gugur, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan siapakah pemimpin selanjutnya, yaitu Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Kemudian, jika Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu gugur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah menentukan siapakah pemimpin berikutnya, yaitu ‘Abdullah bin Ruwahahradhiyallahu ‘anhu.

Metode pelimpahan kekuasaan inilah yang saat ini dilaksanakan di sebagian negeri-negeri Islam.

Ke tiga, ketika secara realita dia telah berkuasa dengan kekuasaannya, meskipun dengan pemberontakan dan pemaksaan, dan meskipun mayoritas manusia membencinya. Maksudnya, jika ada pemberontak yang berhasil mengkudeta, dia bisa mewujudkan perintah-perintahnya, dan memaksakan keputusan-keputusannya, dan tidak ada yang bisa melawannya, maka jadilah dia sebagai seorang penguasa yang baru. Wajib ditaati dan haram untuk diberontak dan dilawan. Hal ini untuk mencegah pertumpahan darah yang terus-menerus di tengah-tengah kaum muslimin.

Metode ke tiga ini juga berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat radhiyallahu ‘ahum. Ketika ‘Abdul Malik bin Marwan berhasil mengkudeta dan menggulingkan khalifah ‘Abdullah bin Zubair, maka semua sahabat yang masih hidup ketika itu (‘Abdullah bin ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhum, dan lain-lain) tetap membaiat khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan.

Ini adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin (para sahabat). Dan wajib kita untuk mengikuti ijma’ sahabat,dan tidak boleh bagi kita menyelisihi ijma’ sahabat.

Perlu digarisbawahi, bahwa memberontak adalah haram jika tidak terpenuhi syarat-syaratnya. Akan tetapi, jika pemberontak tersebut berhasil melakukan kudeta, maka wajib taat kepada pemimpin yang baru tersebut. Demikian pula dengan pemimpin yang dipilih melalui jalur demokrasi. Sistem demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi jika ada pemimpin yang sah dan diakui sebagai pemimpin sebagai hasil dari sistem demokrasi, maka wajib ditaati berdasarkan metode yang ke tiga ini.

Diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu,beliau berkata,

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟

“Suatu hari setelah shalat subuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan suatu nasihat yang sangat berkesan, sehingga mengalirlah air mata kami, dan hati kami pun bergetar. Salah seorang di antara kami berkata, “Ini adalah nasihat orang yang hendak berpisah. Maka apa yang Engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah,mendegar dan taat (kepada penguasa), meskipun dia adalah seorang budak dari Habaysah (Ethiopia). Barangsiapa yang masih hidup di antara kalian, dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena hal itu adalah kesesatan. Siapa saja yang mendapati masa-masa itu di antara kalian, maka berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.”(HR. Tirmidzi no. 2676 dan yang lainnya, hadits shahih)

Dalam hadits di atas, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammewasiatkan bahwa siapa saja yang berhasil merebut kekuasaan (meskipun dengan cara yang tidak benar), dan dia berhasil mengendalikan urusan kepemimpinan di tangannya, maka wajib ditaati, meskipun dia adalah seorang budak. Padahal pada asalnya, seorang budak tidak boleh dan tidak sah diangkat menjadi pemimpin.

Imam Ahmad bin Hanbalrahimahullahu Ta’ala berkata,

وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلْأَئِمَّةِ وَأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ , وَمَنْ وَلِيَ الْخِلَافَةَ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ. وَمَنْ غَلَبَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً وَسُمِّيَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ.

“Wajib mendengar dan taat kepada imam dan amirul mukminin, baik pemimpin tersebut adalah pemimpin yang baik atau pemimpin yang jahat (fajir). Siapa saja yang memegang kepemimpinan (khilafah), manusia pun bersepakat dan meridhai, (maka wajib ditaati). Atau siapa saja yang berhasil mengalahkan (pemimpin sebelumnya yang sah, pen.) dengan pedang sehingga berhasil diangkat sebagai khalifah dan disebut sebagai amirul mukminin, (maka wajib untuk ditaati).” (Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah li Laalikaai,1/161)

Ibnu Bathal rahimahullahu Ta’alaberkata,

وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء

“Para ulama ahli fiqh telah bersepakat wajibnya mentaati sulthan (penguasa) yang berhasil mengalahkan (penguasa sebelumnya) dan berjihad bersamanya. Bahwa mentaatinya itu lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengannya terjagalah darah (kaum muslimin) dan terwujudlah ketenangan bagi rakyat jelata.”(Fathul Baari, 7/3)

Ulil amri: Diketahui keberadaannya dan diakui kepemimpinannya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahu Ta’ala berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ، وَلَا قُدْرَةٌ (9) عَلَى شَيْءٍ أَصْلًا

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati pemimpin yang diketahui keberadaannya dan diketahui (siapakah dia orangnya), yaitu yang memiliki kekuasaan (power) untuk mengatur urusan manusia. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mentaati ulil amri yang wujudnya saja tidak ada, atau tidak diketahui (siapakah dia dan di manakah keberadannya), dan juga tidak memiliki kekuasaan dan power sama sekali.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1/115)

Berdasarkan penjelasan Syaikhul Islam di atas, maka tidak boleh menurut akal sehat dan juga menurut aturan syariat, kita mengangkat seseorang sebagai imam, membaiatnya, padahal orang itu tidak memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang riil.

Contohnya sebagian orang yang ingin meuwujudkan negara Islam, lalu mereka membaiat satu orang sebagai pemimpin secara rahasia dan sembunyi-sembunyi yang mengatur urusan kelompoknya tersebut, maka orang ini adalah “ulil amri gadungan”. Karena jika dia menampakkan jati dirinya, tentu dia akan takut ditangkap oleh aparat keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa dia tidak memiliki power dan kekuasaan riil untuk memaksa orang lain mengikuti perintahnya. Demikian pula pemimpin ormas (organisasi masyarakat) tertentu, dia bukanlah ulil amri.

Dalam riwayat Ishaq bin Manshurrahimahullah, Imam Ahmadrahimahullahu Ta’ala ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak memiliki imam, maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.”

(Imam Ahmad ditanya), apa makna hadits tersebut?”

Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala berkata,

تَدْرِي مَا الْإِمَامُ؟ الْإِمَامُ الَّذِي يُجْمِعُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ، كُلُّهُمْ يَقُولُ: هَذَا إِمَامٌ؛ فَهَذَا مَعْنَاهُ

“Tahukah kalian, siapakah imam itu? Imam adalah orang disepakati oleh kaum muslimin (untuk diangkat sebagai imam), semua mereka mengatakan, “Inilah imam (pemimpin) kami.” Inilah makna hadits tersebut.”(Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1/527)

Maka pemimpin adalah siapa saja yang ketika masyarakat (rakyat) ditanya, “Siapakah pemimpin kalian?” Maka rakyat siapa pun dia akan menyebut nama tertentu, semua orang mengetahui dan mengakui dia adalah seorang pemimpin.

Dalam konteks negara Indonesia, ada zaman Presiden Soekarno, sehingga semua rakyat Indonesia ketika ditanya siapakah presiden (ulil amri) saat itu, mereka semua tentu akan mengatakan “Presiden Soekarno”. Demikianlah seterusnya, ketika zaman Presiden Soeharto, dan terus berlanjut hingga sekarang ini. Beliau-beliau adalah ulil amri, karena kepemimpinan mereka diketahui semua orang, memiliki power dan kekuasaan untuk membuat peraturan dan undang-undang, dan memaksa rakyat untuk mematuhi peraturan tersebut, suka atau tidak suka. Dan mereka berhak menghukum siapa saja yang melanggar aturan tersebut. Sebagai panglima tertinggi, mereka memiliki aparat, yaitu polisi dan tentara, yang menjaga kemanan, ketertiban dan kedaulatan negara. Demikian pula jajaran di bawahnya, seperti menteri, gubernur dan bupati, adalah ulil amri yang wajib ditaati karena mereka memiliki kewenangan-kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Maka perhatikanlah dan renungkanlah hal ini.

[Bersambung]

***

Diselesaikan di pagi hari yang cerah, Rotterdam NL, 20 Sya’ban 1439/ 7 Mei 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Haroky hizby

Hizbiyah golongan atau kelompok
Haroky=talbis mencampur adukkan antara yg haq dan yg batil

Murji'ah mu'tazilah asyari'ah

Ustadz,  saya mau bertanya.

Apa yg di  maksud paham murji’ah,  mu’tazilah, dan asya’irah? Sering teman-teman di kajian menyebut-nyebut pemahaman tersebut dan dianggap sesat…

Mohon pencerahannya…

Atas penjelasannya, kami mengucapkan. Jazaakallahu khairan.

(Wanda Ummu Aufa, Group WA Tanya Rumaysho 3 – Puteri)

 

Jawaban:

 

Ibu Wanda yang semoga selalu dirahmati Allah. Tiga aliran atau pemahaman yang ibu tanyakan, memang ada dalam penyebutan para ulama. Terutama tiga pemahaman tersebut diulas oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab aqidah yang mereka susun. Berikut sedikit penjelasan tentang tiga aliran tersebut.

 

Murji’ah

 

Ibnu ‘Uyainah mengatakan,

” الْإِرْجَاءُ عَلَى وَجْهَيْنِ: قَوْمٌ أَرْجَوْا أَمْرَ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ ، فَقَدْ مَضَى أُولَئِكَ ، فَأَمَّا الْمُرْجِئَةُ الْيَوْمَ فَهُمْ قَوْمٌ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمِلٍ ” .
انتهى من “تهذيب الآثار” (2/ 659)

“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.” (Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)

Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:

Definisi iman hanyalah pembenaran dalam hati, atau pembenaran dengan hati dan lisan saja, tanpa memasukkan amalan.Amalan tidak masuk dalam hakikat iman, juga bukan bagian dari iman. Jika amalan ditinggalkan seluruhnya, iman tidak akan hilang seluruhnya.Pelaku maksiat tetap dikatakan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.Amalan hanya masuk dalam kewajiban iman dan buahnya, amalan bukanlah masuk dalam hakikat iman.Iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang. Karena iman hanyalah pembenaran dengan hati yang tidak bisa masuk penambahan ataukah pengurangan.

Sumber: https://islamqa.info/ar/227276

 

Mu’tazilah

 

Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij dalam hal ini.”

Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”

Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin ‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)

Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:

Menolak semua sifat Allah.Dalam masalah takdir, Mu’tazilah adalah Qadariyyah yaitu menolak takdir.Punya pendapat yang hampir sama dengan Jahmiyyah yaitu meniadakah kalau Allah dapat dilihat pada hari kiamat, menyatakan Al-Qur’an itu makhluk (bukan kalamullah).Menganggap bahwa semua ilmu itu kembali pada akal untuk bisa menerimanya.mirip dengan Khawarij yaitu menganggap pelaku dosa besar kekal dalam neraka, namun mereka tidak berani mencap kafir. Itulah mengapa Mu’tazilah disebut “bancinya Khawarij” (Mukhanits Al-Khawarij).Orang mukmin dianggap tidak masuk neraka, namun cuma mendatangi saja. Karena kalau masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali.Menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal (akan fana).Menyatakan Allah di mana-mana, di setiap tempat (Allah bi kulli makan).Mengingkari adanya siksa kubur. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 30-31)

Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:

At-Tauhid (keesaan Allah)Al-‘Adlu (keadilan)Manzilah bayna manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan)Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman Allah)Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar (amar makruf nahi munkar)

Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.

Tauhid dimaksudkan untuk meniadakan sifat-sifat Allah.Al-‘Adlu dimaksudkan untuk mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah.Manzilah bayna Manzilatain maksudnya adalah bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua kedudukan, mereka tidak disebut mukmin, tidak pula disebut kafir.Al-Wa’du wa Al-Wa’id dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka.Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar dimaksudkan untuk menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 32-75)

 

Asya’irah

 

Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa tahapan.

Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.

Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.

Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah.

Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya Al-Ibanah di bagian akhir,

“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya.”

Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.

Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:

Berpaham Jabariyah dalam hal takdir, bahwasanya Allah memaksa hamba untuk berbuat, tanpa punya pilihan.Murji’ah dalam masalah iman.Mu’attilah (menolak sifat) dalam masalah sifat Allah.Asya’irah hanya mengakui tujuh atau sebagian sifat saja. Karena sifat-sifat yang mereka tetapkan itulah yang pas menurut akal.Asya’irah menolak sifat Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dan menolak sifat ketinggian bagi Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah bukan di dalam alam, bukan di luarnya, bukan di atas, bukan di bawah.

Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali. Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya penyimpangan yang banyak.”

 

Dari tiga pemahaman di atas, dengan penyimpangan tersebut apakah pantas dimasukkan dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf? Anda tahu bagaimana memberi penilaian dalam hal ini.


Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 26 Dzulhijjah 1437 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/14503-kelirukah-murjiah-mutazilah-dan-asyairah.html