Sabtu, 01 September 2018

Bantuan dari orang kafir

Jika ada non-muslim yang ingin menyumbangkan harta untuk membangun masjid misalnya atau untuk membangun pondok pesantren, apakah diterima atau ditolak?

Pertama perlu dijelaskan bahwa hukum asal menerima hadiah dan infak dari non-muslim adalah mubah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenerima hadiah dari Para raja-raja non-muslim dan juga menerima hadiah daging dari seorang wanita Yahudi. Ini dalam rangka muamalah yang baik dan mengambil hati mereka.

Imam Bukhari menuliskan bab mengenai hal ini

باب قبول الهدية من المشركين

“Bab bolehnya menerima Hadiah dari orang musyik”.

Bahkan ulama menjelaskan boleh menerima sumbangan membangun masjid dari non-muslim asalkan tanpa syarat dan tidak membuat kaum muslimin menjadi hina serta bukan alat politik non-muslim tersebut untuk membuat makar terhadap umat Islam.

Ibnu Muflih menjelaskan bahwa Masjid boleh dibangun dari harta orang kafir, beliau berkata

وَتَجُوزُ عِمَارَةُ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكِسْوَتُهُ وَإِشْعَالُهُ بِمَالِ كُلِّ كَافِرٍ

“Boleh membangun masjid, memberikan kiswah dan penerangan dari harta orang kafir”1.

Lajnah Daimah (semacam MUI di Saudi) mengeluarkan fatwa ketika ditanya apakah boleh shalat di masjid yang dibangun dari harta orang kafir? Dalam fatwa dijelaskan:

لا بأس في الصلاة في المسجد المذكور

Tidak mengapa shalat di masjid tersebut (yang dibangun dari harta orang kafir)2.

Adapun maksud ayat bahwa Allah tidak akan menerima dari harta mereka karena kekafiran mereka, maka ini maksudnya adalah dari segi diterimanya ibadah mereka oleh Allah, bukan dari segi halal dan haramnya menerima sumbangan dari mereka. Ayat tersebut sebagai berikut:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” (At-Taubah:54).

Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa boleh menerima dengan syarat:

Pertama: Tidak menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin karena menerima hadiah tersebut, semisal sumbangan tersebut ada syaratnya yang merugikan kaum muslimin atau alat politik untuk membuat makar terhadap Islam

Dalam Fatwa Lajnah Daimahdijelaskan,

يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من الإنفاق على المشاريع الإسلامية؛ كالمساجد والمدارس إذا كان لا يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من المنفعة

“Boleh bagi kaum muslimin menerima infak dari non-muslim untuk kegiatan Islam semisal membangun masjid dan sekolah/pesantren, jika tidak ada bahaya yang ditimbulkan bagi kaum muslimin dan banyak manfaatnya”3.

Kedua: Dipastikan bahwa harta orang kafir tersebut adalah bukan harta yang haram. Jika jelas informasi yang masuk ke kita bahwa harta yang disumbangkan itu haram, maka tidak boleh menerimanya untuk membangun masjid. DalamFatawa Syabakah Islamiyahdisebutkan:

فلا مانع من أن تطلبوا من كافر إعانة مالية يهبكم إياها ثم تستعينون بها في بناء مسجد ، كما لا حرج في قبولها منه دون طلب لا سيما مع عجزكم عن بنائه وحاجتكم إليه، ولا يلزمكم البحث عن مصدر ماله الذي تبرع به هل هو من حلال أو من حرام ، ولكن إذا علمتم أن عين المال الذي أعطاكم إياه حراما فلا يجوز لكم قبوله وصرفه في بناء المسجد

“Tidak ada masalah meminta sumbangan dari orang kafir dalam bentuk harta, kemudian digunakan untuk membangun masjid. Sebagaimana juga dibolehkan menerima pemberian orang kafir tanpa melalui permintaan. Terlebih jika kalian (kaum muslimin) tidak mampu membangun masjid, sementara kalian sangat membutuhkannya. Tidak ada kewajiban untuk mencari tahu sumber harta mereka, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalur yang haram. Akan tetapi, jika kalian tahu persis bahwa uang yang diberikan orang kafir itu adalah uang haram, maka tidak boleh diterima dan tidak boleh digunakan untuk membangun masjid”4.

Minta bantuan dan sumbangan dari orang kafir

Yang di jelaskan di atas adalah mengenai menerima bantuan dan sumbangan untuk kepentingan umat dari orang kafir, tanpa didahului meminta. Yaitu ketika orang kafir menawarkan bantuan dan sumbangannya, dan kaum Muslimin tidak meminta. Adapun kaum Muslimin yang meminta terlebih dahulu, maka selain dua syarat yang disebutkan, para ulama juga mensyaratkan hendaknya kaum Muslimin tidak menunjukkandzull (perendahan diri) di depan orang kafir dan tidak boleh muncul kecenderungan hati sehingga mudah dipengaruhi oleh orang kafir. Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menyatakan,

فقبول هبات الكفار وتبرعاتهم دون طلب لا بأس به ويجوز صرف هذا المال في المشاريع الإسلامية ونفقاتها المختلفة . أما طلب التبرعات من الكفار ففيه بعض المحاذير مثل الذلّ أمامهم وملكهم قلب الطالب إذا أعطوه . فلو خلا من هذه المحاذير فلا بأس ، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعين ( دون ذلّ ) في أمور الدعوة – وهو بمكة – ببعض المشركين كعمه أبي طالب وغيره

“Menerima pemberian orang kuffar dan bantuan mereka, tanpa meminta terlebih dahulu, itu tidak mengapa. Dan boleh menggunakan harta pemberian tersebut untuk berbagai keperluan umat Islam. Adapun meminta bantuan dari orang kafir, di sana terdapat perkara-perkara yang perlu dijauhi diantaranya bersikap dzull(merendahkan diri) di depan mereka dantimbulnya kecenderungan hati dari peminta sehingga mudah pengaruhi oleh mereka, jika permintaannya diberikan. Jika tidak ada perkara-perkara yang terlarang ini, maka tidak mengapa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu pernah meminta bantuan (tanpa merendahkan diri) kepada sebagian kaum Musyrikin di Mekkah dalam urusan dakwah, semisal kepada paman beliau Abu Thalib dan yang selainnya”5.

Kesimpulan

Maka, jika kaum muslimin mampu membangun masjid atau sekolah/pesantren, sebaiknya tidak menerima sumbangan dari non-muslim karena memang tidak butuh dan mampu, terlebih di daerah mayoritas muslim yang tentu umumnya tidak kekurangan harta untuk membangun masjid. Apalagi memang ada indikasi kuat ada makar politik untuk membahayakan kaum muslimin. Kita harus berhati-hati karena orang kafir tidak akan pernah ridha dengan orang Islam

Allah berfirman,

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)” (An-Nisaa’:89)
Demikian semoga bermanfaat.

@Yogyakarta tercinta, dalam keheningan jaga malam

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

 

Al-Furu’ 11/478 Fatwa Lajnah Daimah5/255 nomor 20112 Fatwa Lajnah Daimah5/256 nomor 21334 Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 75831  Fatawa Islam Sual Wal Jawab no.212,https://islamqa.info/ar/212 

Makanan acara bid'ah

HUKUM MEMAKAN MAKANAN DARI ACARA BID’AH

Oleh

Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.

Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh. Ustadz, apa hukumnya memakan makanan dari acara yang tidak diridhai Allâh? Acara ulang tahun misalnya. Jazakallahkhair.

Jawaban.

Wa’alaikumussalâm warahmatullâhi wabarakâtuh. Semoga Allâh Azza wa Jalla menghindarkan anda dari perkara haram dan dosa.

Pada masa lalu, perayaan ulang tahun tidak dikenal di kalangan umat Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak pernah mencontohkannya. Jika perbuatan itu baik, mereka tentu sudah mendahului kita, karena mereka sangat bersemangat dalam melakukan semua kebaikan. Tradisi ini diimpor dari orang-orang barat yang kafir, sehingga jelas bahwa melakukan perayaan seperti ini merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang-orang kafir) yang dilarang dalam agama Islam.[1]

Jika demikian, maka kita tidak boleh mendukung acara seperti ini, baik dengan menghadirinya, mendanainya atau lain sebagainya, karena itu termasuk kerjasama dalam hal maksiat. Terkait dengan memakan makanan yang dibuat untuk acara itu, jika yang dimaksud dengan memakan makanan saat menghadiri acara ulang tahun atau sejenisnya, maka itu tak lepas dari unsur mendukung maksiat. Menghadiri acara dan ikut makan berarti ikut mendukung dan meramaikannya, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan takwa, jangan bahu membahu dalam dosa dan maksiat. Bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras siksa-Nya [Al-Mâ`idah/5:2]

Adapun jika makanan itu di antar ke rumah tanpa kita datang ke tempat acara, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menyelenggarakan pesta atau upacara bid’ah, juga orang-orang kafir saat berhari raya, maka kita boleh menerimanya dan memakannya. Demikian dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[2] Hal itu karena pada hakekatnya, makanan itu halal dan menerima hadiah dari mereka tidak berarti mendukung acara mereka.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menerima hadiah dari orang yang merayakan hari raya Nayruz.[3] Aisyah Radhiyallahu anhuma juga ditanya tentang hukum menerima hadiah dari orang Mâjusi saat mereka berhari raya, maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْمِ فَلَا تَأْكُلُوا، وَلَكِنْ كُلُوا مِنْ أَشْجَارِهِمْ

Adapun yang disembelih untuk acara itu, jangan kalian makan. Makanlah makanan selain sembelihan (sayur, buah dan semacamnya) [HR. Ibnu Abi Syaibah no. 24.371][4]

Setelah menukil atsar ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Semua atsar ini menunjukkan bahwa ‘ied (hari raya) tidak berpengaruh pada bolehnya menerima hadiah dari mereka. Jadi tidak ada bedanya antara menerima hadiah dari mereka, saat ‘ied maupun di luar ‘ied, karena hal itu tidak mengandung unsur mendukung syi’ar kekafiran mereka.”

Sebagian Ulama lagi berpendapat tidak boleh menerima hadiah atau makan hadiah ulang tahun sama sekali. Bagi mereka, hal tersebut tidak lepas dari unsur mendukung acara mereka.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote

[1]Lihat: Fatâwâ Lajnah Dâ`imah II 2/260, Majmû’ Fatâwâ Bin Bâz 4/285

[2]Iqtidhâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm 2/52

[3]Nayruz adalah peringatan awal tahun kalender Mesir, biasa diperingati oleh umat Kristen Koptik dan yang lain

[4]Mushannaf Ibni Abi Syaibah 5/126.

Read more https://almanhaj.or.id/4534-hukum-memakan-makanan-dari-acara-bidah.html